Hujan
sudah turun sejak pagi, senja mulai datang namun air yang turun dari langit
sama sekali tak menunjukan akan berhenti. Kanal dan tanggul tak lagi mampu menahan
air memenuhi jalanan. Jalan-jalan di Ibukota Jawa Tengah tak lagi mampu
menjalankan fungsinya, dan berubah
menjadi kolam-kolam besar. Kendaraan-kendaraan bermotor yang berani
memasuki “kolam besar” ini akan takluk oleh kuasa air yang dapat memasuki
setiap ruang-ruang mesin dan membuat komponen-komponen elektrik bermasalah.
Air
laut pasang yang menjelajah ke daratan menambah parah keadaan. Rumah-rumah di
pesisir laut sudah lama terendam, air rob mengusir penghuni dan harta benda
banyak tak terbawa. Bocah-bocah asik bermain air di jalanan yang perlahan
menjadi kolam publik. Salah satunya bernama Bimo, bocah itu bermain air dengan
menggunakan ban dalam truk yang sudah berubah menjadi pelampung.
“hyaaa
. . hyaa . . rasain itu basah juga kan,” Bimo memercikan air genangan itu
keteman-temannya yang takut basah.
Orang
tua Bimo tidak terlihat sedang mendampingi anaknya, mereka terlihat sedang
berusaha dengan warga kampung membuat tanggul sementara dari karung-karung
pasir yang disusun. Mereka berusaha menahan air dari banjir yang terlihat
semakin meninggi. Setiap tahun kampung tersebut tergenangi oleh banjir tahunan
yang tak kunjung diatasi oleh pemerintah. Pembenahan tanggul dan rumah pompa
yang sudah terlaksana pun tak mengubah tradisi kolam publik di kampung
tersebut. Rumah pompa hanya menjadi hiasan, pompa yang berharga tinggi juga
terbengkalai dan kemudian rusak karena tak pernah dihidupkan.
Pemerintah
mencanangkan program peninggian jalan, namun program tersebut tidak efektif.
Program tersebut hanya merubah aliran air, tak lagi menggenangi jalanan besar
namun rumah-rumah dan jalan-jalan yang tidak ditinggikan yang tergenang. Warga
mau tidak mau menerima keadaan banjir ini, salah satunya ketua RT 05 di Parang
Kusumo, Tlogosari. Beliau mengatakan “Peninggian jalan apabila rumahnya tidak
ikut ditinggikan akan percuma saja. Selain itu, Tlogosari ini juga menjadi
tempat mengalirnya air dari arah selatannya, seperti jalan Supriyadi dan
Medoho. Penduduk hanya mempunyai pilihan melewati jalan Soekarno Hatta yang
tidak dipenuhi oleh air.” Selain itu, di Udan Riris yang kontur tanahnya lebih
rendah dari Parang Kusumo membuat jalan-jalan tenggelam. Bocah-bocah
memanfaatkan genangan tersebut untuk bermain air.
Pada
tahun 2014, keadaan banjir di Kota Semarang menjadi yang terparah dalam
beberapa tahun terakhir. Seorang karyawati di sebuah toko keramik daerah Bubaan
menceritakan “Selama tiga hari saya tidak bisa masuk kerja, jalan Soekarno
Hatta dari RS Dr. Cipto sampai daerah kantor saya tergenangi. Hanya mobil-mobil
besar yang bisa melewatinya, sedangkan kendaraan roda dua saya pasti mogok saat
melewatinya. Hal ini saya alami kala itu, agar saya bisa berangkat kerja harus
diantar suami dengan menggunakan mobil Blindvan.”
Karyawati
tersebut menambahkan “Anak saya ketika pulang dari sekolahnya di tengah Kota
Semarang, motornya sempat beberapa kali mogok ketika melewati jalan Medoho.
Membuat anak saya harus mendorongnya sekitar 1 km dengan posisi sedang hujan
dan banjir.” Pada saat itu memang keadaan Kota Semarang sedang darurat oleh banjir,
kegiatan perputaran uang terhambat.
Seorang
siswi STM Pembangunan Semarang memberi kesaksian banjir yang terjadi Simpang
Lima, “Tinggi air sudah menyamai permukaan trotoar di Simpang Lima, motor-motor
yang nekat menerjang mesinnya mati ketika sudah berjalan beberapa belas meter.
Sekolah saya juga sudah terendam oleh air, membuat evakuasi atas alat-alat
praktek yang riskan dengan air dilakukan. Pada pagi harinya sekolahan
bersih-bersih bersama membuat kondisi agar tetap nyaman untuk dilakukannya
kegiatan belajar mengajar.” Pada tahun ini dia juga mengalami hal yang sama,
“Ketika saya pulang dari Polines setelah hujan mereda, saya harus rela
dimandikan oleh air-air cipratan dari
motor dan mobil yang melewati saya.”
Keadaan
ini menjadi sebuah potret kehidupan yang setiap tahun muncul di pemberitaan
televisi maupun media cetak. Pemerintahan seakan tak serius mengatasi
permasalahan yang sudah menjadi tradisi. Warga harus berusaha sendiri mengatasi
tradisi yang membuat mereka mengungsi setiap tahunnya. Kolam publik masih akan
selalu terbentuk menjadi tempat berendamnya kendaraan bermotor yang nekat, dan
para bocah yang ingin bersenang-senang.